Setitik

Rasanya hal yang sama pernah terjadi, jantungku berdebar-debar untukmu. Untuk menyembunyikannya, aku memaksakan diri tersenyum, lalu sekarang aku berkata pada diriku ''tindakanmu benar." 
Iya, kata-kata itu menguatkan hatiku, sehingga tidak mudah hancur.

Kala itu hujan gerimis. Di sebuah kafe kecil, aku memesan cokelat panas dan kau memesan kopi pahit. Seperti biasa, kau bercerita tentang pekerjaanmu dan aku mendengarkan, setiap kata yang keluar dari mulutmu aku simak baik-baik, "semakin mengagumkan saja." gumamku dalam hati.

Diseruputnya kopi pahit itu, lalu ia pun bertanya "kamu mau cerita apa?"
Aku berkeluh-kesah tentang tulisanku yang terus diabaikan oleh penerbit. Ia berkata, "tulisan kamu adalah obat ketika aku lagi sedih, jadi jangan nyerah ya, udah sejauh ini kamu bertahan pasti sulit, tapi tunggu sebentar lagi aku yakin kamu pasti akan jadi penulis yang terkenal."

Aku hanya bisa menghela nafas panjang, sikapmu yang terlalu manis adalah alasan mengapa selama ini aku tak bisa menyerah dalam menulis walau keinginan untuk menyerah sangat besar, begitu juga perasaanku terhadapmu.

Gerimis berubah menjadi hujan yang lebat, kami cukup lama terjebak di cafe. Lagu ballad terus berputar dan perlahan bibirku ikut menyanyikannya. 

Begitulah, hari demi hari yang kulalui. 
Bertahan dengan segala kekuatan yang kupunya.
Aku adalah lembar demi lembar dari sebuah buku, yang kadang terlupakan.
Kau adalah halaman depan buku, memikat setiap orang yang melihatnya.


                                                          Bersambung...

Komentar

Postingan Populer